Jakarta, Tjakramedia.com – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, pemerintah memiliki komitmen besar untuk menghapus pekerja anak.
Hal tersebut disampaikannya saat memberikan pidato kunci pada “End Child labour virtual race 2021” yang diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional atau ILO dalam rangka Peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak atau World Day Against Labour 2021 secara virtual dari Jakarta, Sabtu (12/6).
Menaker Ida mengungkapkan, pemerintah telah melakukan penarikan pekerja anak dari berbagai jenis pekerjaan terburuk sejak 2008. Dalam periode 2008 sampai 2020 terdapat 143.456 pekerja anak yang telah ditarik dari sekitar 1,5 juta pekerja anak berumur 10-17 tahun berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019.
Sebagai wujud komitmen besar untuk menghapus pekerja anak, pemerintah juga meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Selain itu, pemerintah juga memasukkan substansi teknis yang ada dalam Konvensi ILO tersebut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kami di Kementerian Ketenagakerjaan serius dan tegas dalam melakukan berbagai upaya konkret untuk mengurangi pekerja anak di Indonesia,” tegas Ida.
Lebih lanjut ia pun memaparkan sejumlah upaya konkret yang akan dilakukan di tahun 2021 ini.
Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan pada kelompok rentan, agar peduli pada pemenuhan hak anak dan tidak melibatkan anak dalam pekerjaan berbahaya. Hal ini dilakukan di antaranya melalui supervisi ke perkebunan kelapa sawit dan perkebunan tembakau.
Kedua, langkah-langkah koordinasi dan asistensi untuk mengembalikan anak-anak ke pendidikan, dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Ketiga, memberikan pelatihan pada pekerja anak dari kelompok rentan (putus sekolah dan keluarga miskin) dalam program pelatihan berbasis komunitas dan pemagangan pada lapangan pekerjaan.
Keempat, memfasilitasi intervensi bantuan sosial atau pelindungan sosial pada kelompok buruh dan keluarga miskin yang terdampak Covid-19 yang memiliki kerentanan terhadap anggota keluarga untuk menjadi pekerja anak.
Kelima, melakukan supervisi/pemeriksaan ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak.
Keenam, melakukan sosialisasi/penyebarluasan informasi norma kerja anak kepada stakeholder.
Ketujuh, mencanangkan zona/kawasan bebas pekerja anak di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Menaker Ida mengakui, saat ini masih terdapat anak di Indonesia yang belum memperoleh hak mereka secara penuh, terutama bagi anak yang terlahir dari keluarga prasejahtera.
“Ketidakberdayaan ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan terjerumus dalam bentuk-betuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak,” ujarnya.
Ida menyampaikan apresiasinya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penanggulangan pekerja anak. Ia juga mengajak instansi terkait dan seluruh komponen masyarakat, untuk bersama-sama mendukung penanggulangan pekerja anak secara nasional.
“Stop pekerja anak! Mari dukung upaya pemerintah dengan meningkatkan kepedulian kepada anak-anak sekitar kita,” katanya.
Sementara itu, Direktur ILO untuk Indonesia Michiko Miyamoto menandaskan, semua pihak harus bersinergi untuk menghapuskan pekerja anak. “Tidak ada tempat bagi pekerja anak dalam masyarakat,” kata Michiko.
Praktik ini, ungkapnya, merampas masa depan anak-anak dan menempatkan keluarga mereka dalam kemiskinan.
“ILO telah berupaya menghapus pekerja anak sepanjang 100 tahun sejarah berdirinya, dan tahun Internasional ini menjadi peluang bagi semua pihak untuk semakin meningkatkan upaya mencapai sasaran 8,7 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui aksi nyata penghapusan pekerja anak untuk selamanya,” tambah dia.
(ach)