Oleh : Timboel Siregar
Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi BPJS Watch
Tjakramedia.com, Jakarta – Penetapan upah minimum tahun 2022 oleh Gubernur tinggal menghitung hari. Penetapan upah minimum kabupaten/Kota (UMK) tahun 2022, mengacu amanat Pasal 35 ayat (2) PP No 36 Tahun 2021, diumumkan paling lambat tanggal 30 Nopember 2021. Sementara itu penetapan upah minimum propinsi (UMP) ditetapkan paling lambat tanggal 21 Nopember 2021 sesuai amanat Pasal 29 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2021.
Penetapan UMP dan UMK tahun 2022 dihitung dengan menggunakan rumus yang diatur pada Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021, dengan 5 variabel data penentu di propinsi yaitu data rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga, inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan rumus perhitungan penentuan UMP dan UMK di PP No 36 Tahun 2021 dipastikan persentase kenaikan UMP/K akan jauh lebih kecil dibandingkan penentuan UMP/K dengan metode survey kebutuhan hidup layak (KHL) atau penetapan UMP/K di PP No. 78 Tahun 2015.
Ketika metode penentuan kenaikan UMP/K dengan melakukan survey harga KHL ke pasar maka Dewan Pengupahan mengetahui harga-harga kebutuhan buruh di pasar yang akan dibeli para buruh, dan metode ini riil mengambarkan harga kebutuhan hidup layak buruh.
Metode survey harga kebutuhan hidup di pasar direvisi dengan metode penjumlahan persentase inflasi dan pertumbhan ekonomi nasional di PP No. 78 tahun 2015. Metode penentuan kenaikan UMP/K di PP No. 78 ini tidak riil menggambarkan kondisi harga-harga di pasar yang akan dibeli buruh dan keluarganya. Namun PP No. 78 masih mengatur penentuan kenaikan UMP/K di tahun keenam dilakukan dengan metode survey harga KHL buruh. Masih ada irisannya dengan metode lama.
Ketentuan baru penentuan UMP/K di PP No. 36 tahun 2021 dengan menggunakan 5 jenis data, semakin mengaburkan kondisi harga KHL buruh di pasaran. Penggunaan variable rata-rata konsumsi per kapita hanya mengukur kemampuan daya beli buruh, bukan menggambarkan kondisi di sisi suplai yaitu harga-harga yang riil terjadi di pasar.
Dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, dimana banyak pekerja yang dipotong upahnya, dirumahkan tanpa upah hingga di PHK, tentunya kondisi ini akan memperngaruhi nilai rata-rata konsumsi per kapita masyarakat, yang nilainya cenderung turun.
Badan Pusat Statistik (BPS) dua hari yang lalu merilis rata-rata Upah Buruh per Agustus sebesar Rp. 2,74 Juta/Bulan. BPS merilis survei upah buruh pada Agustus 2021 dibandingkan Agustus 2020 turun sebesar 0,72% menjadi Rp 2,74 juta per bulan. Dengan turunya upah buruh secara nasional ini tentunya akan berdampak pada menurunya rata-rata konsumsi per kapita masyarakat di masing-masing propinsi.
Nilai rata-rata konsumsi per kapita yang menurun akan cenderung menurunkan nilai Batas Atas (BA). Bila nilai selisih BA dengan UMP/K eksisting tipis maka kenaikan UMP/K di tahun depan akan kecil juga. Bila nilai BA lebih kecil dari UMP/K eksisting maka dipastikan UMP/K tahun depan tidak naik.
Dengan nilai rata-rata konsumsi per kapita di DKI Jakarta tahun 2021 ini diperkirakan sebesar Rp. 2.336.429 maka kenaikan UMP DKI Jakarta di tahun 2022 di bawah 1 persen atau secara nominal kenaikannya di bawah Rp. 30 ribu. Perkiraan kenaikan UMP yang rendah ini, lebih rendah dari nilai inflasi di DKI Jakarta, berarti upah buruh/pekerja di Jakarta akan tergerus inflasi. Ini artinya daya beli pekerja/buruh akan menurun. Dengan menurunnya daya beli buruh/pekerja berdampak pada rata-rata konsumsi per kapita masyarakat DKI. Ini menjadi lingkaran setan upah buruh terus tergerus inflasi.
BPS sudah menyerahkan data-data yang akan digunakan untuk menghitung kenaikan UMP/K tahun depan kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan Dewan Pengupahan. Mengingat isu upah minimum sangat sensitif maka seharusnya BPS merilis data-data tersebut ke publi sehingga kalangan pekerja/buruh dan SP/SB bisa menghitung juga. Dengan keterbukaan data ini akan mengeliminir kecurigaan atau manipulasi dalam perhitungan kenaikan UMP/K tahun depan.
Data-data tersebut adalah data publik, yang mengacu pada UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), khususnya Pasal 4 ayat (1) menyatakan setiap orang berhak memperoleh informasi public. Dan mengacu pada UU Cipta Kerja dan PP No. 36 Tahun 2021, data-data dari BPS tersebut bukan menjadi data yang bersifat ketat dan terbatas.
BPS adalah Badan Publik yang wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya, dan mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU KIP, BPS wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Kembali, masalah UMP/K ini isu sensitif yang mempengaruhi hajat hidup buruh/pekerja, dan senantiasa setiap tahun mengundang aksi demonstrasi dari kalangan SP/SB.
Demikian juga BPS harus merilis ke public data-data terkait penetapan UMK baru di suatu kabupaten /kota yang selama ini belum memiliki UMK. Data-data seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah dalam tiga tahun terakhir sangat dibutuhkan untuk menentukan suatu kabupaten/kota berhak memiliki UMK baru atau tidak. Bila berhak maka nilainya dipastikan di atas UMP yang berlaku, bila belum berhak memiliki UMK maka nilai upah minimum yang berlaku sesuai dengan UMP yang berlaku.
Kalangan buruh/pekerja dan SP/SB sangat berharap BPS merilis data-data tersebut sehingga perhitungan UMP/K tahun depan lebih obyektif, demikian pula pekerja/buruh di kabupaten/kota yang selama ini belum memiliki UMK dapat mengetahui juga peluang adanya UMK baru di daerahnya.