Oleh : Timboel Siregar
Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi BPJS Watch
Tjakramedia.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 30 September 2021 dalam putusannya telah mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), yang dinilai berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para peserta ASABRI. MK juga mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS, yang diajukan para pensiunan Taspen.
Salah satu pertimbangan Hakim MK menyebutkan penyelenggara jaminan sosial itu baiknya lembaga majemuk, sesuai dengan karakteristik masing-masing pekerja yang diproteksi. Ini juga untuk tetap melindungi hak agar manfaat nilai tidak berkurang.
Menurut saya pertimbangan hukum Hakim MK ini kurang tepat. Mengapa Hakim MK masih membedakan antara PNS dan pekerja swasta, yang disebut memiliki karakteristik yang berbeda.
Apa perbedaannya? Saya menilai pertimbangan hukum Hakim MK ini malah mendukung diskriminasi antara PNS dan pekerja swasta, memperkokoh pengkastaan di republi ini. Apakah PNS harus diposisikan lebih terhormat dan lebih baik dari pada pekerja swasta dalam jaminan sosial?
Saya kira hakim MK seharusnya melihat pelaksanaan Program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan, tidak ada dikriminasi antara PNS, TNI Polri dan pekerja swasta. Mengapa JKN bisa dikelola tanpa diskriminasi tetapi di jaminan sosial ketenagakerjaan malah diperkokoh pengkastaannya oleh Hakim MK. Ini pemikiran feodal.
Kalau dinilai manfaat PNS yang tidak boleh berkurang, ya sebaiknya pertimbangan hukum MK menyatakan bahwa manfaat PNS tidak boleh berkurang di BPJS Ketenagakerjaan, sehingga hal ini akan meningkatkan manfaat bagi pekerja swasta juga.
Bila dinilai manfaat pensiun yang ada di PP 45 Tahun 2015 lebih buruk dibandingkan manfaat pensiun PNS, ya seharusnya PP No. 45 Tahun 2015 yang direvisi. Namun bukan hal ini yang dilakukan, tetapi MK malah mendukung pengelolaan jamsos secara terpisah-pisah dengan membiarkan perbedaan manfaat antara PNS dan pekerja swasta.
Dengan pertimbangan hukum hakim MK ini, beberapa masalah yang akan dihadapi, yaitu :
1. Prinsip gotong royong tidak terpenuhi sehingga berpotensi mengancam keberlanjutan program jamsos. TEORI hukum bilangan besar seharusnya menjadi acuan bagi pelaksanaan asuransi termasuk jaminan sosial yg merupakan asuransi sosial.
Semakin banyak peserta semakin banyak pendapatan iuran sehingga aspek gotong royong semakin nyata, dan ini akan mampu membiayai klaim yg terjadi. Dampaknya akan mendukung keberlanjutan program jamsos itu sendiri.
Sebagai contoh riil adalah, program jaminan Kematian bagi PNS diselenggarakan oleh PT. taspen sejak 1 juli 2015 tetapi karena peserta PNS nya hanya 6 juta orang maka ketika berlangsung selama 2 tahun, program jaminan kematian ini mengalami masalah pembiayaan klaim sehingga Taspen meminta kenaikan iuran jaminan kematian dari awalnya 0,3 persen menjadi 0,72 persen dari upah.
Kalau saja jaminan kematian ini diserahkan ke BPJAMSOSTEK maka dengan peserta aktif 29 juta akan mampu semua peserta bergotong royong membiayai peserta PNS yg meninggal. Kenaikan iuran jaminan kematian di Taspen tersebut membebani APBN. Ada kelebihan bayar.
Kemudian ketika ada relaksasi iuran jaminan kematian dan kecelakaan kerja di BPJAMSOSTEK yaitu diskon 99 persen, bila jaminan kematian dan kecelakaan kerja PNS diserahkan ke BPJAMSOSTEK maka APBN akan membayar iuran hanya 1 persen, dapat diskon 99 persen.
Ini bisa dilakukan karena peserta di BPJS Ketenagakerjaan banyak, dan mampu membiayai klaim kecelakaan kerja dan kematian dengan baik. Apalagi dana kelolaan jaminan kecelakaan kerja di BPJAMSOSTEK sudah mencapai 35 Triliun dan jaminan kematian sebanyak 14 Triliun.
2. Dengan dipisah pisah berdasarkan kepesertaan maka ada diskriminasi manfaat dan pelayanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau disatukan seperti program JKN maka tidak ada diskriminasi. Pemerintah tidak boleh melaksanakan program jaminan sosial dengan diskriminatif.
3. Bila mengacu pada peraturan OJK No. 1 tahun 2016, dana kelolaan di BPJAMSOSTEK minimal 50 persen ditaruh di surat Utang Negara, sementara dana yg dikelola PT. taspen hanya minimal 30 persen.
Faktanya dana kelolaan BPJAMSOSTEK di SUN sudah mencapai 63 persen, jauh dibandingkan yang diinvestasikan PT taspen di SUN. Ini artinya, bila program jamsos PNS diserahkan ke BPJAMSOSTEK maka APBN akan mendapat manfaat lebih banyak daripada bila diserahkan ke PT. Taspen
Lalu dalam pertimbangan hukumnya MK juga bilang, penyelenggara jamsos itu tidak harus dilebur, tapi disesuaikan badan hukum perseronya, sehingga Asabri dan Taspen seharunya punya pijakan hukum UU, bukan yang sekarang yaitu PP.
Menurut saya pengelola jaminan sosial memang seharusnya dikelola oleh lembaga yang diamanatkan UU, bukan yang dibentuk oleh PP. Saya kira proses pembentukan UU yang diamanatkan putusan MK ini tidak efektif dan efisien, bila dipisah-pisah.
Kalau pengelolaan diserahkan ke BPJAMSOSTEK maka manfaatnya yaitu ada efisiensi biaya operasional. Dengan satu biaya operasional di BPJAMSOTEK akan mengelola jamsos seluruh rakyat termasuk PNS. Kalau dibuat lagi UU sehingga melegitimasi Taspen dalam UU maka akan ada biaya operasional Taspen dan BPJAMSOSTEK. Ini tidak efisien, padahal yg dikerjakan sama. Seharusnya Pemerintah menyadari kerugian bila putusan MK ini dilaksaknakan. Serahkan saja ke BPJAMSOSTEK.
Menjadi hal umum, pengelola jamsos itu dilaksanakan oleh lembaga nirlaba, sementara taspen adalah lembaga yg mengejar profit. Ini akan berdampak pada tata kelolanya. Saya menilai Tata Kelola BPJS Ketenagakerjaan lebih baik dari Taspen dan Asabri.