Tjakramedia.com, Jakarta – Rencana holdingisasi dan privatisasi PT PLN (Persero) dinilai merupakan sebuah langkah yang bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja.
Sebelumnya Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU), yang khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah.
Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, Gekanas (Gerakan Kesejahteran Nasional) memahami upaya Pemerintah untuk membentuk Holding Company dengan melakukan penggabungan (Merger) beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk penguatan modal usaha dan ketahanan ekonomi BUMN.
Sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan amanat dan perintah konstitusi negara. Terkait Privatisasi dengan meliberalisasi tenaga listrik negara berbasis Initial Public Offering (IPO), patut diduga jika hal tersebut akan berpotensi menimbulkan pertentangan dengan amanat dan perintah Konstitusi negara.
Sebab, dengan melakukan Privatisasi Perusahaan Plat Merah yang bernama PT.PLN (Persero), maka kepemilikannya akan berubah menjadi Milik Umum (Swastanisasi).
“Padahal tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak.” kata R. Abdullah Koordinator Presideum Gekanas
Disampaikan Abdullah, Gekanas menganggap dengan dilakukannya Privatisasi terhadap PT. PLN dengan dalih program Holdingisasi dan IPO.
Hal ini makin menunjukkan Pemerintah sebagai Penyelenggara Negara tidak taat azas dalam melaksanakan atau mengimplementasikan amanat dan perintah Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
“yang menegaskan jika Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai sepenuhnya oleh negara,” ujar Abdullah.
Terlebih kata Abdullah,, Privatisasi PT.PLN membawa konsekuensi berorientasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kemakmuran pemilik saham.
Karena itu masyarakat sebagai pengguna Listrik Negara patut mengantisipasi bahwa Privatisasi berpotensi besar menimbulkan peningkatan biaya produksi bagi dunia usaha.
“Akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) secara berkelanjutan demi mecapai keuntungan PT. PLN (Persero) sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran pemilik modal (saham) dan tentu sangat memengaruhi harga jual hasil produksi sekaligus kemampuan daya saing dengan usaha industri sejenis lainnya yang bersumber dari import,” ungkapnya.
Disisi lain lanjutnya, hal tersebut juga berpotensi besar menurunkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap produk usaha industri, utamanya kelompok masyarakat pekerja atau buruh yang mayoritas berpenghasilan Upah Minimum dengan standar Kebutuhan Hidup untuk seorang lajang (bujangan) dan rentan menjadi Orang Miskin Baru (OMB).
“Belum lagi, jika rencana tersebut tetap dipaksakan maka akan berpotensi makin menambah beban APBN yang saat ini sedang defisit,” bebernya.
Dijelaskannya, atas dasar hal tersebut, Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) menyatakan menolak keras Privatisasi terhadap PT. PLN (Persero).
1. Mendesak Kepala Pemerintahan Negara dalam hal ini Presiden RI harus mengembalikan kedudukan PT.PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) UUD 1945; Oleh karena itu wajib sepenuhnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bangsa dan negara;
2. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Rpublik Indonesia (DPR RI), MPR RI dan DPD RI menjalankan pengawasan melekat secara sungguh-sungguh terhadap implementasi Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di dalam UU No. 30 Tahun 2009, tentang Ketenagalistrikan.
3. Mendesak Pemerintah bersama DPR RI mengembalikan status PT.PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Tunggal Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. (r)