Oleh : Timboel Siregar
Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi BPJS Watch
Tjakramediaa.com, Jakarta – Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelasaksanaan Program Jaminan Sosial Ketengakerjaan sudah berjalan hampir 7 bulan. Inpres ini ditujukan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Program Jaminan Sosial ketenagakerjaan dan untuk menjamin perlindungan kepada pekerja dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Kehadiran Inpres ini sangat baik mengingat jaminan sosial ketenagakerjaan adalah hak konstitusional seluruh pekerja Indonesia, namun faktanya belum dirasakan oleh seluruh pekerja. Hingga akhir Agustus 2021 jumlah peserta aktif Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)-Jaminan Kematian (JKm) di BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 29.219.184 pekerja yang terdiri dari peserta Penerima Upah (PU) atau pekerja formal swasta 20.194456 orang, pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) atau pekerja informal 2.710.616 orang, dan pekerja jasa konstruksi 6.314.112 orang.
Peserta aktif di program Jaminan Hari Tua (JHT) sebanyak 16.180.679 orang yang terdiri dari pekerja PU 15.934.742 orang dan BPU 245.937 orang. Peserta aktif di Jaminan Pensiun (JP) sebanyak 12.919.349 pekerja, yang semuanya peserta BU.
Dari total penduduk yang bekerja sebanyak 128,45 juta dengan komposisi pekerja formal 39,53% dan pekerja informal 60,47% (BPS, Agustus 2020), data kepesertaan di atas memang menunjukkan kepesertaan yang belum optimal, sehingga kehadiran Inpres No. 2 ini diharapkan mampu mendorong seluruh penduduk yang bekerja semuanya terlindungi dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Mengingat pentingnya peningkatan kepesertaan di jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya tindak lanjut pelaksanaan Inpres ini terpublikasi ke masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui apa yang telah dilakukan 24 Kementerian/Lembaga, 34 Gubernur dan 514 Bupati/Walikota.
Namun hingga saat ini, publik tidak mengetahui perkembangan tindaklanjut Inpres ini. Apa yang telah dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemda dalam satu semester ini, atau jangan-jangan belum ada yang dilakukan.
Menteri Ketenagakerjaan yang diinstruksikan dalam 5 tugas yang antara lain adalah melakukan evaluasi, mengkaji dan menyempurnakan regulasi, serta melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan kepada pemberi kerja swasta, sepertinya belum menyelesaikan penyempurnaan regulasi khususnya regulasi jaminas sosial bagi pekerja migran Indonesia, dan regulasi JHT.
Demikian juga dengan tugas pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan kepada pemberi kerja swasta sepertinya belum dilaksanakan dengan baik. Seperti kita ketahui bersama titik lemah di Kementerian Ketenagakerjaan adalah peran pengawasan dan penegakkan hukum. Ini yang menyebabkan masih banyak pekerja formal belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Menteri Dalam Negeri diinstrusikan melakukan singkronisasi regulasi dalam rangka memastikan pelaksana pelayanan public terdaftar menjadi peserta aktif di program jaminan sosial ketenagakerjaan. Ini tentunya diarahkan untuk memastikan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) disesuaikan dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pasal 106 ayat (2) UU ASN mengamanatkan perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian bagi PPPK dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Bila dikaitkan dengan Peraturan Presiden no. 109 tahun 2013 dan Pasal 106 ayat (2) ini maka dengan sangat jelas PPPK harus didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan yang telah sesuai dengan SJSN yang diatur dalam UU No.40 Tahun 2004. Tentunya PPPK ini termasuk pegawai honorer seperti guru honorer yang akan diangkat sebanyak 1 juta orang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pegawai honorer lainnya di Kementerian/Lembaga lainnya.
Tanggal 12 Oktober 2021 lalu Dirjen Peraturan Perundang Undangan Kementerian hukum dan HAM menyelegarakan rapat harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang pemberian perlindungan berupa manfaat jaminan Kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian bagi pegawai non-PNS.
Mengacu pada UU ASN, Perpres no. 109 tahun 2013, serta Inpres no.2 Tahun 2021, seharusnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendaftarkan seluruh pegawai non-PNS yaitu PPPK untuk JKK dan JKm-nya ke BPJS Ketenagakerjaan, termasuk untuk program Jaminan Hari Tua yang juga diamanatkan Pasal 106 ayat (1) UU ASN. Adapun agenda rapat tersebut hanya untuk jaminan Kesehatan, JKK dan JKm, sementara JHT tidak ikut dibahas.
Presiden harus memastikan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut tidak bertentangan dengan UU ASN, Perpres no. 109 tahun 2013, serta Inpres no. 2 Tahun 2021, yaitu mendaftarkan PPPK ke BPJS Ketenagakerjaan termasuk untuk program JHT, bukan ke PT. Taspen. Lagi pula sesuai dengan Putusan MK kemarin, PT. Taspen tidak mempunyai kedudukan hukum sebagai badan penyelenggara jaminan sosial lagi.
Prinsip yang dikandung dalam SJSN (amanat Pasal 106 tersebut) salah satunya adalah gotong royong. Bila jaminan sosial seluruh pegawai pemerintah baik PNS maupun PPPK dikelola BPJS Ketenagakerjaan maka akan terjadi proses gotong royong yang akan memastikan keberlangsungan program dan peningkatan manfaat tanpa diskriminasi, termasuk efisien dalam hal iuran. Saat ini iuran program JKm di PT. Taspen sebesar 0,72 persen, lebih mahal dibandingkan iuran JKm di BPJS Ketenagakerjaan yaitu 0,3 persen.
Saya berharap Presiden mengalihkan kepesertaan JKK dan JKm bagi PNS saat ini ke BPJS Ketenagakerjaan agar memenuhi prinsip SJSN, termasuk bisa mengalihkan kelebihan iuran JKm (0,42 persen) di PT. Taspen untuk iuran pekerja informal miskin program JKK dan JKM ke BPJS Ketenagakerjaan.
Secara umum, saya berharap lagi, Pak Presiden mengevaluasi pelaksanaan Inpres no. 2 Tahun 2021 sehingga jelas Inpres ini akan mencapai tujuannya yaitu optimalisasi pelaksanaan Program Jaminan Sosial ketenagakerjaan dan untuk menjamin perlindungan kepada pekerja dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.