Jakarta, Tjakramedia – Fakta mengejutkan terungkap dari laporan serikat buruh. Mereka menyampaikan, masih banyak anggotanya yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan terpaksa tetap bekerja.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti, mengatakan, saat ini banyak perusahaan yang mengubah status buruhnya menjadi pekerja kontrak atau borongan.
Dengan perubahan status itu membuat pemberian upah buruh sesuai dengan jam kerja harian. Maka, bila tidak masuk kerja, mereka khawatir tidak dapat upah. Dari situlah para buruh memaksa diri untuk tetap bekerja, meskipun positif Covid-19.
“Pekerja kontrak dan borongan akan terpaksa tetap bekerja, meski sakit, karena takut kehilangan upah. Klaster pabrik sangat agresif, buruh TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit), dalam dua minggu saja di Cakung, Tangerang, Subang, dan Solo, ribuan anggota kita terpapar,” ungkap Dian, dalam konferensi pers virtual, Senin (19/7/2021).
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-SPSI), Dion Wijaya, mengatakan, perubahan status pekerja banyak dilakukan perusahaan kepada buruh sejak Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan.
“Dengan status itu, maka semakin tertekan para pekerja garmen, khususnya pekerja perempuan. Dengan status begitu, meski mereka terpapar, mereka terpaksa kerja, karena dengan status itu mereka khawatir nggak dapat upah,” kata Dion, dalam diskusi yang sama.
Mirisnya lagi, bila buruh ketahuan perusahaan terpapar, dia akan diminta pulang untuk isolasi mandiri. Namun, buruh tidak mendapatkan fasilitas apapun dari perusahaan.
“Mereka mungkin bisa bekerja kalau cuma gejala saja belum dicek, tapi yang terpapar itu kalau ada yang tes massal disuruh pulang dan isoman. Tapi tanpa ada fasilitas di perusahaan, ini muncul problem,” ungkap Dion.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-KSPSI), Helmy Salim, menambahkan, sudah banyak bukti dari laporan buruh di lapangan yang mengaku bila harus isolasi mandiri di rumah mereka tak mendapatkan upah.
Buruh akan mengambil risiko untuk tetap bekerja selama gejala Covid-19 belum parah dan memilih untuk tidak mendeteksinya. Apabila dinyatakan positif Covid-19 tidak akan melapor kantor.
“Mereka memilih masuklah, mengambil risiko masuk meski sakit, mereka pikir gejala nggak seberapa, kecuali sudah parah banget baru mereka nggak akan masuk. Sudah banyak contoh di perusahaan, kalau isoman sama seperti dirumahkan tanpa upah,” ungkap Helmy.
Buruh juga mengungkapkan bahwa banyak pabrik tidak patuh aturan PPKM Darurat. Di mata para buruh, PPKM Darurat tidak berlaku. Mereka menilai, di pabrik-pabrik tempatnya bekerja sama sekali tidak menerapkan aturan PPKM Darurat.
Semua aturan dan protokol kesehatan tidak ada yang berlaku di pabrik industri tekstil, garmen, sepatu, dan kulit (TGSL). Dian mengatakan, banyak pabrik di daerah sentra tekstil masih mempekerjakan pekerjanya 100%.
Ayo Vaksin
Sebagai informasi, dalam aturan PPKM Darurat untuk sektor industri orientasi ekspor dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50% staf di fasilitas produksi/pabrik, serta 10% untuk pelayanan administrasi perkantoran.
“Pada sektor manufaktur TGSL, PPKM nyaris tidak berlaku bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerjanya. Di banyak sentra industri sektor ini misal, Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, dan Solo, puluhan pabrik masih beroperasi 100%,” ungkap Dian.
Dian mengatakan, para pekerja terpaksa untuk tetap bekerja, jika tidak mereka akan kehilangan pekerjaan.
Para pekerja bahkan harus melakukan lembur. Buruknya lagi, protokol kesehatan sama sekali tidak dilakukan di pabrik. Untuk hand sanitizer dan fasilitas cuci tangan saja sama sekali tidak disediakan perusahaan. Belum lagi beberapa fasilitas seperti tes Covid-19 berkala ataupun vitamin untuk menjaga imunitas para buruh.
“Jutaan pekerja bekerja penuh waktu, bahkan melakukan lembur. Mereka bekerja dalam ruang tertutup dan padat, tanpa alat pelindung diri baik APD, masker, hand sanitizer, fasilitas mencuci tangan. Tidak ada juga fasilitas kesehatan memadai seperti klinik, tes Covid-19, atau vitamin penunjang,” papar Dian.
Pengakuan sama diungkap oleh Ketua Bidang Perempuan dan Anak Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sumiyati.
Menurutnya, selama ini pabrik-pabrik sama sekali tidak punya sensitivitas terhadap Covid-19. Dia menilai, operasional berjalan seperti biasa, dan menurutnya pengusaha tak mau mengalah dengan PPKM Darurat.
“Kami lihat juga beberapa pabrik operasional berjalan seperti biasa. Mereka nggak mau ngalah dengan PPKM ini, semua rutinitas seperti biasa. Tidak ada protokol berjalan dengan baik,” ungkap Sumiyati.
PT. Global Sertifikasi Sejahtera
Pengadaan hand sanitizer, masker, hingga suplemen vitamin yang seharusnya didapatkan demi menjaga keamanan, keselamatan, kesehatan kepada para buruh juga tak pernah diberikan.
Bahkan untuk masker saja, banyak buruh yang menggunakannya secara berulang.
“Banyak buruh menggunakan masker berulang dicuci dipakai, karena beban. Vitaminnya juga tidak diminum, karena tidak disiapkan,” kata Sumiyati.
Sumiyati juga menyatakan, harusnya perlindungan pekerja dijamin oleh perusahaan.
Hal itu merupakan amanat UU Ketenagakerjaan, menurutnya.
“Saya ingatkan lagi UU Ketenagakerjaan. Dijelaskan pemberi kerja diwajibkan berikan perlindungan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja baik mental dan fisiknya,” ungkap Sumiyati.
Sumber: Wahana news.Co