Oleh : Timboel Siregar
Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi BPJS Watch
Tjakramedia.com, Jakarta – Saat ini sedang dilakukan pembuatan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (PerMenPAN RB) terkait jaminan sosial ketenagakerjaan Bagi Non ASN.
Salah satu isi PerMenPAN RB yang akan diatur adalah institusi pengelola jaminan sosial ketenagakerjaan bagi Non ASN.
Menurut saya, seharusnya pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi Non ASN diserahkan ke BPJS ketenagakerjaan, bukan dikelola oleh Taspen
Adapun beberapa alasan yang menjadi dasar argumen saya tersebut adalah :
1. Penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi 9 prinsip SJSN yaitu seperti nirlaba (Taspen orientasi laba), gotong royong (taspen hanya mengelola PNS saja sekitar 4 juta, dibandingkan BPJS TK sudah mengelola 30 juta pekerja), hasil investasi dikembalikan ke peserta (kalau hasil investasi taspen dijadikan bonus, dividen sementara hasil investasi BPJS TK kembali ke peserta).
Faktanya BPJS Ketenagakerjaan memenuhi 9 prinsip SJSN tersebut, sementara Taspen tidak sesuai dengan prinsip-prinsip SJSN.
2. Putusan Mahjamah Konstitusi (MK) yang terakhir menyatakan bahwa pengelola Jamsos harus dibentuk UU sementara Taspen dibentuk oleh PP.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 72/PUU-XVII/2019 dan nomor 6/PUU-XVIII/2020 dinyatakan lembaga atau badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial harus dibentuk oleh UU.
BPJS Ketenagakerjaan dibentuk UU BPJS tetapi Taspen dibentuk oleh PP
3. Iuran jaminan kematian (JKM) di Taspen 0.72 persen sementara di BPJS ketenagakerjaan sebesar 0.3 persen. Ada kelebihan bayar 0.42 persen iuran jaminan kematian dan hal ini sudah diwarning KPK.
Kalau non ASN diserahkan ke Taspen maka akan tambah inefisiensi APBN dan ini artinya inefisiensi yang dilegalisasi PerMenPANRB.
Sebagai contoh, untuk 1 juta non ASN saja bila diserahkan ke Taspen maka APBN akan kelebihan bayar Rp. 151.2 miliar per tahun (= 12 bulan x 0.42 persen x rata2 upah Rp. 3 juta x 1 juta peserta).
Bila dana Rp. 151.2 miliar ini dialihkan untuk pekerja miskin dalam skema PBI di JKK jkm maka bisa mencover 750 ribu orang pekerja miskin kita.
4. Perpres no. 109 tahun 2013 dengan sangat eksplisit menyatakan PNS TNI polri dan ASN lainnya didaftarkan ke BPJS TK, bukan ke Taspen.
5. Dalam pelaksanaannya, peserta lebih mudah mendapat akses manfaat di BPJS Ketenagakerjaan dibandingkan di Taspen. Seperti contoh, salah satunya, ketentuan di taspen, peserta yang berangkat dari rumah ke kantor dengan jalan yg sudah ditentukan bila terjadi kecelakaan akan dijamin, tetapi bila dari jalan yg berbeda tidak dijamin.
Di BPJS Ketenagakerjaan, dari manapun asal tujuannya ke kantor tetap dijamin.
6. DANA iuran yang dibayarkan APBN untuk menjamin Non ASN nanti akan ditempatkan minimal 50 persen di Surat Berharga Negara (SBN) yang akan membantu APBN. Walaupun ketentuan 50 persen, faktanya bisa mencapai 65 persen yang ditaruh BPJS ketenagakerjaan di SBN. Kalau di Taspen maka hanya 30 persen dan ini tidak signifikan membantu APBN.
7. Kalau nanti dikemudian hari ada lagi relaksasi pembayaran iuran JKK jkm dengan diskon 99 persen seperti yang dilakukan di 2020 maka APBN akan bayar iuran hanya 1 persen, dan diskon iuran 99 persennya bisa dialokasikan utk membiayai kebutuhan rakyat lainnya. Dengan relaksasi tidak ada manfaat JKK JKM yg berkurang
Saya mendorong Pemerintah lebih obyektif dalam membuat Peraturan Menterin PAN RB yang mengatur jaminan sosial Non ASN, yaitu dengan menyerahkan pengelolaannya ke BPJS ketenagakerjaan, bukan Ke Taspen.
Pak Presiden harus mengetahui berbagai persoalan yang terjadi bila jaminan sosial ketenagakerjaan Non ASN diserahkan ke Taspen, baik persoalan yuridis, persoalan anggaran, dan persoalan sosiologis terkait penerapan manfaat. Presiden harus memastikan PerMenPANRB mengatur pengelolaan jamian sosial ketenagakerjaan untuk NON ASN dikelola bpjs ketenagakerjaan.